Jreng! Dar Der Dor

Senin, 9 Juni 2025 08:28 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Wayangan di Awan-awan
Iklan

Panorama cerpen imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.

"Apa kan terjadi. Kalaulah seekor isme stagnan."
"Penyebabnya?" 

"Beragam pesona di etalase." 
"Realitas. Hadapi."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Mantap kawan."
"Meski absurd sekalipun."

"Meski mentari tak ingin tenggelam." 
"Hah! Logika dari sejumlah ragam pertanyaan." 

"Secara alami perumpamaannya mungkin begitu."
"Absurd terus dong."

"Berjuang, senantiasa absurd sebab waktu perubahan."
"Sekalipun tetap mempertanyakan loyalitas kesetiaan."

"Menyoal kantong bolong absurd pun tetap ilmiah kan."
"Hahaha." Ngakak bareng. "Lantas terang mata." Lebih ngakak lagi.

"Kalau melihat waktu berlalu tanpa identitas."
"Mungkin saja. Meski waktu perubahan senantiasa berlalu."

"Dari halte ke stasiun."
"Dari bus kota ke kursi parlemen."

"Mencoba melupakan kesaksian sang waktu."
"Selalu serba mungkin. Laiknya toko serba ada." Lampau mematri masa kenangan.

"Patut dipertimbangkan."
"Kalau perlu dengan logika terbalik."

"Sekalipun jungkir balik."
"Lantas?."

"Yel! Yel!" 
"Lalu kita. Kenangan selalu dalam kisah kekalahan."

"Hahaha. Kemenangan..." Bagai melayang mengenang peristiwa itu.
"Meski tampaknya begitu. Kita tak pernah meraih kemenangan."

"Ya."
"Takkan terlupakan peluru karet di antara kekacauan membuncah. Langit biru membisu bersaksi. Komitmen ketika itu." Sunyi mendadak datang di antara catatan kenangan. Sejumlah pertanyaan tak mampu memecah kebisuan.

"Dari mana pertanyaan menemukan jawaban."
"Wow! Jawaban bergelantungan di otak zaman."

"Lantas?" 
"Akibat arus informasi simpang siur." 

"Simpang siur tak berkonotasi absurd."
"Seharusnya begitu."

Penyebab salah satunya mungkin saja berakibat, tak saja rasionalitas jadi macet, sebab logika mampir di pegadaian. Setidaknya hal itu awal penyelamatan cepat dari sejumlah pilihan keselamatan sederhana. 

Di arena penuh praduga dari sejumlah dugaan di waktu berlari dikejar ketentuan dari kebutuhan individual sebelum dimasalkan. Serupa pertanyaan sederhana. Mampukah kereta cepat berjalan mundur. Ketika bencana datang dari arah berhadapan.

"Mungkin saja."
"Kalau maksudmu situasinya ketika itu." 

"Memang tak ada pilihan."
"Maju atau meundur."

"Peluru karet tetap ditembakan."
"Tiarap tak menyelesaikan persoalan."

"Kini..."
"Tetap tak menemukan jawaban."

"Dari mana jawaban itu."
"Dari yakin ku teguh." 

"Ketika itu. Kini?"
"Nasib menulis perbedaan."

"Kau membuka serangan."
"Hanya itu pilihan kita ketika itu atau mati sia-sia."

"Apa boleh buat."
"Tak terbayang olehku akibatnya."

"Kekompakan membuat kita menang."
"Naif kadang diperlukan."

"Nah! Itu parodinya."
"Jebakan setan untuk kelinci." Bisu menghipnotis keduanya.

Kalau zaman menghendaki ilmu kebudayaan berkembang sesuai habitat kehidupan melingkupi ragam ilmu pengetahuan secara bebas pilihan personal maupun kelompok. Atau sebut saja dari kehendak alami untuk pilihan-pilihan. 

Meski tak sesuai jenjang keilmuan melengkapinya di waktu kemudian di arena pertarungan penentu pilihan-pilihan, bukan sebab alasan nasib. Dialogis bersistem berjalan tertatih atau sebaliknya. Sesuai zaman sebagaimana kekuasaan menghendaki nasibnya di kurun waktu berlari.

"Nah itu dia. Di mana bedanya."
"Jawaban sekaligus pertanyaan."

"Hahaha... Tetap ngakak ketika itu. Sekalipun prihatin dilintasan peluru karet."
"Laiknya misteri mengejar menjadi setan." Tawa getir menelan kenangan.

"Laiknya jalanan mendadak macet."
"Kemacetan tanpa batas nampaknya." 

"Stagnan. Imaji menjadi persepsi."
"Analisis tak jua mau pergi."

"Tetap bertemu nilai."
"Logika menyasar tujuan tak jua bertemu jawaban."

Pertemuan arus tak selalu menimbulkan bahaya laten. Meski mengandung risiko pertanyaan lanjutan. Kecerdasan memainkan peranan ambigu terkadang dibutuhkan demi jawaban meski dualisme persepsi bermain di balik sulapan logika berlompatan. Meski tampak namun tak mungkin segera menemukan jawaban di antara banyak pilihan jungkir balik di etalase-menggoda pilihan. 

"Waspada pada bentuk macam itu."
"Mendadak sosok aneh menciummu di tempat umum. Apa reaksimu."

"Barangkali kesadaran terlambat baru menghuni logika dari jawaban."
"Hah! Banyak kepala penghuni otak untuk berpikir." 

"Hahaha persepsi terbalik lagi."
"Habitat dasar manusia Bung."

"Bisa menjadi penyesalan susulan." 
"Biasanya sih begitu."

"Asal jangan merengek-rengek. Kembalilah cinta."
"Hahaha." Ngakak abis keduanya.

"Itu zaman ketika... Hahaha."
"Hahaha. Berlagak keren tapi bokek. Kendaraan pinjaman pula."

"Hahaha. Sepatu pun pinjam si Polan. Hahaha."
"Pagi ngenek. Malam wakuncar." Terpingkal-pingkal keduanya.

Keberlangsungan macam itu, sejak manusia mengalami perjalanan seluas ilmu pengetahuannya masing-masing. Mengembangkan etos kebudayaan besar bangsa di manapun sebuah negara berada. Perdebatan, perseteruan, konflik pikiran amatlah mempengaruhi pengembangan negara, untuk menemukan ideologi ideal bersama demi pemerintahan bersi bercahya.

"Tak pulang sebab belum bayar tempat berlabuh." Ngakak jungkir balik keduanya.
"Masa-masa hutang menggunung di warung Bu Ijah."

"Telah wafat. Ibu baik itu."
"Ya. Orang baik tak ada duanya. Suraga baginya. Amin."
"Amin." Hening sejenak.

"Zaman dari puncak bergaya."
"Bokek di kantong tetap bergaya. Apa kabar dia nan mempesona."

"Telah wafat akibat kecelakaan beruntun. Tak lama setelah menikah dengan jutawan itu." Sunyi sejenak.
"Dia teman terbaik...."

"Masa kampus bersatu dengan badan."
"Kenangan tak terlupakan. Indah nian sobat." Hening sejenak keduanya. Terbayang ketika peluru karet beterbangan jungkir balik kenangan. Lantas waktu tak pernah kembali untuk saling ngobrol mengapa peristiwa itu terjadi. Demi apa. Untuk siapa. Catatan perjalanan tak ingin ditelan musim perubahan terus berseteru dengan nasib.

"So why gituloh."
"Ada banyak kemungkina jawaban." 

"Secara kelompok ilmu atau individu."
"Melihat kebutuhan perkasus."

"Oh! Begitu ya."
"Nah. Kau di persimpangan Bung." Kinerja cita-cita apapun di manapun mungkin tak sekadar aklamasi oleh sebab kepentingan kelompok hua hi hu ataupun syalala. Lantas dengan gagah berani melupakan komitmen seolah-olah tak penting lagi. Dianggap telah di telan zaman perubahan. Oh! Wow! Tetap absurd di arena hua hi hu.

Coba-coba mengembangkan sistem seenak edulnya di luar ketentuan. mentang-mentang sebagai pemilik kehendak dari cita-cita plus. Jika hal macam itu terjadi. Wah! Gawat deh. Itu artinya suatu sistem tengah terganggu oleh sesuatu bersifat absurd, berakibat gangguan sistemik melingkupinya tak berjalan seiring. Namun tetap mencoba melupakan kehadiran kebaikan itu.
 
"Kau memilih warna kesukaanmu berdasarkan hobi atau panggilan hati."
"Tergantung proyek menyertainya."

"Maksudmu?"
"Ya itu maksudnya."

"Deskripsi."
"Apa masih kurang jelas."

"Simpang siur."
"Loh. Itukan sifat dasarnya."

Kuasa usaha ha-ha-ha dilarang pula melupakan esensi dari nilai tolok ukur moral dalam melaksanakan kewajiban untuk kebersamaan melingkupinya. Hal-hal sederhana macam itu terkadang terlewati. Mungkin saja sang hua-hi-hu mencoba melupakan etos daya juang pada masanya, meski telah berlalu. Setelah sukses meraih kemenangan.

"Komunikasi simpangan."
"Oh! Begitu ya."

"Lantas menurutmu."
"Selisih informasi."

"Lantas bedanya di mana."
"Disalah pahami." Situasi diam sejenak. Serentak menghela napas.

Jika nilai moral bernegara terlepas dari rakyatnya; itu artinya negara tak menemukan esensi kerakyatan-nya. Jreng! Maka nilai tak menemukan moral bernegara bahkan mungkin nilai keabsahan sebuah negara secara bertahapan akan rontok berantakan; tak lagi menemukan hakikat bernegara bersama kehendak rakyatnya. 

Itu sebabnya daya pikir formal mendasar, hendaklah tunduk berpegang teguh pada ketentuaan telah diterbitkan. Lantas bersama saling menghormati. Berkewajiban pula menjunjung tinggi hak-hak rakyat dalam sebuah pemerintahan saling menghormati. Karena rakyat adalah negara. Karena negara adalah rakyat. Tidak ada rakyat maka tidak ada negara loh hai. Ehem.

"Apakah ketentuan rasionalitas personal mampu menemukan jawabannya."
"Kalau efektif mungkin saja."

"Ambigu Bung. Tak terlihat kepastian dari jawabanmu." 
"Ketidak pastian terkadang menguntungkan."

"Hahaha."
"Mengapa rupanya."

Pemerintahan sebuah negara dilarang adigang adigung alias som-sek deh kepada rakyatnya. Dicatat ya , tapi jangan dengan huruf kecil mudah di hapus loh. Catat dengan huruf kapital.; Rakyat penentu pemilihan umum. 

Itu sebabnya negara berkewajiban tunduk kepada parlemen-rakyatnya; berdasarkan asas terkandung di negara bersangkutan. Jika sebuah negara tak ingin ditinggalkan oleh rakyatnya. Gong!

"Hingga kini."
"Kita dan ketika itu."

"Api tetap berkobar.' 
"Sekalipun di terpa hujan badai."

***

Jakarta, Indonesiana, Juni 09, 2025.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Jreng! Dar Der Dor

Senin, 9 Juni 2025 08:28 WIB
img-content

Fragmen

Sabtu, 7 Juni 2025 15:29 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di

Lihat semua